Tanpa Penyesalan


Aku tidak bisa melihat. Mengapa aku tidak bisa melihat sekelumit kebaikan dari pasanganku. Sepertinya pernikahan ini wastingtime untukku. Karena aku merasa semakin tidak bahagia dan aku menyesal.

Hampir 6 tahun aku menikahi perempuan yang sangat cantik menurutku. Seorang perempuan yang ramah, supel dan pintar. Dan tentu saja seseorang yang mau menerima pinanganku, walaupun kami baru berpacaran selama 8 bulan saja. Dinda namanya. Seorang primadona jaman SMA, highclass penampilan dan gaya hidupnya. Anak dari orangtua yang kaya dan berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang pengusaha, sementara ibunya aktif di salah satu MLM. 

Sebenarnya dari awal pernikahan, aku sudah merasakan hal yang aneh. Istriku sepertinya bukan pasangan yang ideal untukku. Dia bukan seorang istri yang mau meladeni suaminya. Maunya sendiri, tidak pandai mengurus rumah, sukanya minta pergi liburan ke luar negeri. Gak pandai atur keuangan keluarga. Dia lebih tepat disebut istri yang suka menentang suaminya daripada seorang istri yang manut.

Jika aku memberinya nasehat, akan selalu berakhir menjadi pertengkaran. Selama ini aku lebih memilih untuk mengalah, namun tidak dengan kemarin malam. Perbincangan kami awalnya hanya sebuah perbedaan sudut pandang saja lalu berubah menjadi ajang duel. Saling lempar barang yang ada di sekitar kami. Dan berakhir dengan ucapan “pergi kau dari rumah ini dan jangan kembali.”

Malam itu, setelah melihat istriku keluar rumah sambil mengajak anakku, aku masih dipenuhi amarah. Aku masih membenarkan semua perilakuku, ucapanku dan keputusanku. Tapi tidak saat aku terbangun pagi ini.

Ada rasa yang hilang, ada rasa bersalah yang besar. Bahkan beberapa kali aku memukul dadaku sembari mengutuki kebodohanku. Aku mencoba menelpon istriku, menanyakan keberadaannya. Namun tidak ada jawaban. Ya …...aku sadar jika istriku tidak mau menerima teleponku. 

Sudah seminggu ini rumah sepi tanpa suara omelan istriku dan tangisan Mayang, anak perempuanku yang baru belajar berjalan. Sementara aku hanya mengisi rasa sepi ini dengan asyik didepan laptop, berusaha menyibukkan diri dalam pekerjaan. Sambil tiap 5 menit mataku melirik ke arah hp. Barangkali istriku akan membalas chatku atau sekedar miscall aku. 

Sejak aku mengusir istri dan anakku, aku lebih banyak berbicara dengan diriku sendiri. Mengambil cermin dari sisi istriku, apakah aku ini adalah suami ideal untuknya? Apakah aku laki-laki kebanggaannya. Apakah aku layak menjadi imam baginya? 

Malam ini, aku sengaja membenamkan diriku dalam lamunan. Membayangkan bagaimana rasanya jika istriku tidak mau kembali lagi, mencoba membayangkan wajah anakku. Apakah akan muncul wajah kesedihan atau wajah kemarahan ? Airmataku tiba-tiba berjalan menuruni pipiku. Dalam hatiku, aku meminta maaf kepada istri dan anakku. Dan dititik ini aku mencoba mengiklhaskan bidadariku.

Aku menyeka airmata dengan kaosku. Ah, ternyata sudah lama aku tidak menggunakan airmataku. Aku mencoba menghentikan airmataku dengan menyalakan aplikasi musik dari laptopku. Dan aku kembali terbenam dalam lamunan. 

Sayup-sayup aku dengar musik dari spotifyku…….”kirim aku malaikatmu. Karena ku sepi berada disini. Dan di dunia ini aku tak mau sendiri.”. Sebuah lagu dari BCL ini, sontak membuatku langsung berdiri. Mematikan laptopku, mengambil hp dan jaketku, serta membawa kunci mobilku. Selesai mengunci pintu rumah, aku langsung berlalu meninggalkan rumah mungil kami. Membawa mobilku mengendarai jalan di perumahan kami. Malam jalanan terasa sepi seperti rasaku malam ini. Sembari menyetir mobil dengan tanpa tujuan, aku memohon petunjukNya kemana aku harus berkendara. Menemukan pujaan hatiku, menemukan bidadariku. Menemukan kembali dan membawanya pulang. 

Suasana hening dalam mobil mengajak pikiranku melayang ke masa putih abu-abu. Ya, aku dan istriku adalah teman sekolah. Kami satu SMA dan tidak pernah satu kelas. Istriku ini adalah paket lengkap menurutku. Cantik, pintar, kaya, gaul, ramah dan  baik hati. Pantas banget kalo selama 3 tahun dia mendapat gelar Gadis Paling Populer di sekolah kami. Siapa yang tidak kenal istriku, mulai dari satpam hingga kepala sekolah semua mengenalnya. Bahkan siswa dari sekolah lain, juga kenal dengan istriku. Famous banget deh. Namun tidak dengan aku. Aku hanyalah siswa biasa. TIdak ada yang istimewa. Jika saat ini ada teman SMA yang masih mengenalku, aku pasti sangat bersyukur. Masih ada teman yang mengingatku. 

Aku teringat saat hari pernikahan kami. Memang bukan pesta yang mewah namun pesta yang sangat berarti bagiku. Bagaimana tidak, hampir semua teman dekat istriku di SMA hadir. Bukan hanya karena sahabatnya sedang menikah saja. Namun terlebih lagi karena mereka penasaran dengan suami sahabatnya tersebut. Yang kabarnya satu SMA, namun mereka benar-benar tidak tahu siapa aku. Dan aku ingat sekali saat dipelamain, ada salah satu teman yang memberiku selamat sembari membisikan wejangan kepadaku. “Bro, kalo kamu sudah bosan aku siap menggantikan.” sembari tertawa kecil dia berkata lagi, hebat bro. Bisa dapatkan gadis populer di SMA kita. Selesai mendengar hal tersebut, aku pun hanya tertawa tanpa beban saja.

Airmataku kembali mengalir, kali ini berhasil melewati pipiku langsung terjun membasahi celanaku. Sepertinya aku yang benar-benar tidak bisa melihat. Aku tidak bisa melihat bahwa ternyata selama ini aku diberi pendamping seorang bidadari. Namun aku yang selalu lihat hanyalah kekurangan-kekurangannya. 

Ah, rasanya semakin gila aku malam ini. Aku hanya putar-putar melewati komplek perumahanku saja. Dan saat aku tersadar, aku langsung mengambil rute keluar dari komplek perumahan. Aku mengambil arah ke kiri dan bergabung dalam keramaian jalanan malam ini. Saat aku melihat tulisan “Sophe” di sebuah baliho yang dipasang menghadap kearahku. Tiba-tiba aku teringat kekasihku di masa lalu. Hampir 7 tahun aku berpaduu kasih dengan Sofi. Berjanji akan menghabiskan sisa hidup bersama. Seorang wanita yang sempurna menurutku. Namun saat aku akan berencana melamarnya malam itu, di sebuah rooftop restaurant. Tiba-tiba , ada chat “ maafkan aku….”.

Awalnya aku tidak terlalu menghiraukannya, aku hanya membalas chat tersebut “...gak papa. Aku tunggu.” Karena kami memang sudah terbiasa, Sofi akan datang naik taxi online ke tempat kami akan ngedate. Dan pulangnya, aku yang mengantarnya pulang. Namun, disisi hatiku yang lain, sepertinya ada yang aneh. Namun kembali lagi, aku tidak terlalu menghiraukannya.

Malam itu, aku menunggunya hampir 2 jam setelah Sofi chat aku. Aku hanya menantinya dalam diam. Dan saat itu ada orang yang menepuk pundakku ringan, “ mas, maaf kami akan tutup “. ah, ternyata itu tangan manager restorant ini, mengingatkanku untuk segera meninggalkan restaurant. Dan malam itu aku pulang sambil masih mengantongi box cincin. Sepanjang perjalanan menuruni restaurant itu dengan lift. Aku melihat lagi HPku. Sofi tidak membalas chatku. Menelponnya tiap 5 menit saat aku menunggu pun tidak pernah berhasil terhubung. Sofiku seperti menghilang di telan bumi.

Begitu masuk dalam mobil, aku pun langsung tancap gas untuk mencari Sofi. Aku mengendarai menuju apartemennya. Aku melaju dengan sangat kencang, entah ini supaya aku cepat sampai atau aku sekedar melampiaskan kemarahanku. 

Aku terhenti di lobi apartement, karena aku tidak punya akses untuk langsung masuk. Aku berjalan menuju meja resepsionis dan ngobrol sebentar. Aku jelaskan alasanku supaya aku bisa dibantu untuk bisa naik ke apartement Sofi walaupun harus ditemani satpam. Kata resepsionis itu dengan lembut, “ maaf pak, penghuni no 2431 sudah tidak menyewa disini lagi. Sudah 2 hari yang lalu, sewanya berakhir.” 

Sejak malam itu, Sofiku menghilang. Aku kehilangannya.

Suara klakson mobil di belakangku berbunyi sangat lantang, hingga membuyarkan lamunanku. Ternyata tanpa aku sadari, aku masih menunggu Sofi. Tanpa aku sadari aku masih berpikir tentang Sofi, aku masih mengharapkan suatu saat akan bertemu, aku melamarnya dan aku akan menghabiskan sisa hidupku bersamanya. 

Ah….aku semakin sadar kenapa aku tidak pernah bisa melihat istriku, melihat kebaikan istriku, aku tidak merasa bahagia dengan istriku. Ternyata aku masih berharap akan kembali ke masa lalu. Aku dan Sofi, forever. 

Aku sadar sekarang. Kalau aku mau bahagia, aku harus hidup di masa sekarang. Bukan masa lalu.

Saat aku menyadari kesalahanku, pikiranku seolah mengendalikan arah mobiliku. Aku terhenti di sebuah rumah yang tidak asing lagi bagiku. Iya, ini adalah rumah salah satu teman SMA istriku. Dia memilih untuk hidup sendiri, single life. Aku mengetuk pintu rumahnya yang tanpa pagar. 3 kali ketukan , tiba-tiba ada yang membuka pintu.

Istriku, bidadariku yang sedang berdiri tepat di depanku. Spontan aku langsung bersujud di hadapannya, aku menggenggam tangannya yang halus dan aku mengarahkan wajahku memandangnya. 

“Maafkan aku……..aku mencintaimu.”


=Selesai=


#ceritakaknitnit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setahun itu kemarin

Aku Melihatmu dari Samping